Mei 01 2025 / Majalah Round the Table
Jalin harmoni indah bersama
Para anggota MDRT gubah strategi untuk hadirkan rasa setia kawan dan membina staf kantor.
Topik bahasan
Pejamkan mata dan bayangkan kantor yang segenap stafnya menjunjung tata nilai yang sama, setakat dengan pedoman komunikasi antarpribadi, saling jaga tanpa menyinggung atau tersinggung, dan merasa terinspirasi serta didukung secara profesional dan emosional.
Buka mata Anda: Itukah yang tampak di kantor Anda?
Jika bukan, perhatikan temuan studi dari Sloan School of Business, Massachusetts Institute of Technology, ini: Dibanding isu kompensasi, buruknya budaya kantor 10 kali lebih mungkin jadi sebab mundurnya staf dan sikap tidak hormat adalah hal yang paling merusak persepsi staf atas kultur perusahaan.
Namun, bagi sebagian anggota MDRT, tempat kerja yang seolah cuma khayalan ini adalah kenyataan yang ditempa dengan sengaja. Langkah dan prosedur yang tersaji berikut ini tak hanya ampuh, tapi juga bisa ditiru oleh siapa pun yang ingin menghadirkan persatuan, produktivitas, dan positivitas serupa di bisnis mereka.
Tuliskan
Bagi Joffrey A. Smith, MBA, CFP, kisahnya berawal pada 2020, saat ia mengejar gelar MBA di Cornell University. Dosen mengenalkan kontrak sosial ke tiap tim di program itu, dan anggota tujuh tahun MDRT ini takjub melihat betapa efektifnya cara ini dalam memupuk keakraban, akuntabilitas, dan konflik konstruktif bagi enam orang anggota timnya.
“Kalau telat hadir di rapat atau hasil proyek tidak memuaskan, staf tidak dihardik, ‘Kerjamu kacau,’ tapi diingatkan tentang kontrak sosial itu, ‘Berdasarkan kontrak yang kita semua tanda tangani ini, Anda bertanggung jawab untuk hadir tepat waktu di rapat tim,’” kata Smith. “Alih-alih berkilah, orang berkata, ‘Benar, saya mohon maaf. Saya pastikan keteledoran ini tidak terjadi lagi.’”
Di program MBA itu, tim Smith rapat selama beberapa jam di awal untuk memutuskan isi kontrak dan baru berhenti setelah semuanya setuju dan menandatangani dokumennya. (Mereka salah satu tim yang paling efektif di program itu dan relasi mereka tetap erat hingga hari ini.) Smith menerapkan cara serupa di kantornya, yang melayani jasa perencanaan keuangan komprehensif untuk 350 profesional muda, prapensiunan, dan pensiunan, dan diperkuat seorang direktur kepatuhan regulasi, koordinator kepatuhan, dan staf layanan nasabah.
Pertanyaan pemandunya bisa berupa:
- Apa ekspektasi tiap anggota tim terkait dengan kesiapan, ketepatan waktu, kehadiran, dan mutu hasil kerja?
- Kapan dan bagaimana rapat diadakan (tatap muka, telekonferensi, temu virtual)?
- Bagaimana kita mengatur peran untuk proyeknya, dan proses manajemen proyek apa yang akan digunakan?
- Bagaimana kita memanfaatkan kelebihan dan mendukung tujuan belajar setiap orang?
- Bagaimana kita menangani perselisihan, dan bagaimana/kapan kita saling memberi masukan?
Daftar di atas baru segelintir saja. Smith menganjurkan agar kontrak diurai ke beberapa bagian, seperti rapat staf, partisipasi dan komunikasi staf, dan peme-cahan masalah serta manajemen konflik. Kontrak sosial harus dengan jelas menentukan jawaban atas semua pertanyaan dan menyediakan pedoman untuk aturan berperilaku, resolusi konflik, dan lainnya. Kontrak tersebut dokumen hidup yang diperbarui sambil dipraktikkan, dan salinan dengan tanda tangan semua pihak diberikan ke semua.
“Di tim mana pun, ada norma, entah dinyatakan secara terbuka atau tidak,” kata Smith, sambil bercerita ia pun menganjurkan beberapa nasabah untuk menerapkan kontrak sosial di tempat kerja, seperti seorang dokter yang frustrasi karena koleganya cuti tanpa pemberitahuan, sesuai aturan. “Sebagai pemimpin yang baik, Anda mesti memfasilitasi sesi untuk menyingkap norma-norma yang ada, baik yang positif maupun yang negatif. Dengan kontrak sosial, Anda bisa membina perilaku positif, di samping membantu mengatasi masalah dan menghadirkan rasa pegang kendali dan aman dalam diri staf.”
Di tim mana pun, ada norma, entah dinyatakan secara terbuka atau tidak. Sebagai pemimpin yang baik, Anda mesti memfasilitasi sesi untuk menyingkap norma-norma yang ada, baik yang positif maupun yang negatif.
—Joffrey Smith
Tentu, agar efektif, kontrak sosial ini (yang tidak dipajang untuk dilihat nasabah) harus langsung ditegakkan bila dilanggar. Jika tidak, tiadanya ganjaran akan timbulkan rasa tidak puas. Tanpa takut konflik atau tudingan pribadi, semua pihak memahami guna dari penanganan masalah secara terbuka dan hormat di rapat-rapat tim. Di kantor Smith, telat menghadiri rapat — tanda tidak menghormati waktu yang lain — berarti harus menraktir staf makan siang. Kini, semua tiba lima menit lebih awal.
“Kontrak sosial menjaga tanggung jawab setiap pihak, termasuk saya. Alhasil, tim jadi lebih baik dan efektif. Produksi dan kualitas relasi pun meningkat.”
Masukan sigap
Metode pengelolaan tim yang dieksplisitkan itu juga ampuh bagi Harpreet Singh Atwal, Dip FA, BSc (Hons). Usai membaca di buku Gino Wickman yang berjudul Traction bahwa budaya perusahaan yang kuat butuh tata nilai tim yang kuat, anggota 13 tahun MDRT ini sadar, menyusun enam pernyataan nilai yang disepakati semua pihak secara serentak bisa menghadirkan ketertataan dan keterbukaan. Yang paling transformatif: pentingnya sikap terus terang dan tidak takut memberikan atau menerima masukan.
Jadi, kalau tadinya Atwal ragu menangani isu yang melibatkan staf (di satu kasus, ia menunggu tiga pekan baru menegur orang yang berbuat salah), kini semua dibereskan dalam satu atau dua hari saja.
“Langkah ini amat sangat efektif memangkas waktu pemberian dan penerapan masukan, daripada ditunda berminggu-minggu dan menghindari isunya,” kata Atwal, yang punya enam orang staf dan menangani jasa manajemen kekayaan dan asuransi untuk 150 keluarga.
Nilai-nilai lainnya meliputi ide-ide yang lebih luas seperti kejujuran, determinasi, dan kerja tim. Meski Atwal menulis dan menjelaskan tiap nilai enam bulan lalu dan meminta staf meninjau dan memverifikasinya dua bulan kemudian, mereka telah menerapkan bebe-rapa cara efektif untuk menggunakan sarana baru ini.
Di antaranya, mempraktikkan nilai keterusterangan. Atwal mengingatkan seorang stafnya tentang nilai tersebut dan mendorongnya untuk menegur langsung sejawatnya yang berbuat salah. (Smith juga pernah mengalami skenario serupa.) Selain itu, di rapat tim, staf juga diajak untuk memuji kolega atas peran sertanya dalam mengamalkan nilai-nilai inti. Alhasil, staf makin sering menggunakan kata “kita”, bukan “saya” saat membahas perkembangan. Dalam rapat evaluasi empat mata, Atwal menyoroti nilai-nilai yang telah diamalkan oleh staf sembari membahas segi-segi yang perlu dibenahi.
Dan, karena Atwal mencantumkan tata nilai perusahaan dalam info lowongan kerja untuk kantornya, para pelamar mengatakan, “Saya suka tata nilai di kantor ini.” Terbukti, tata nilai bisa jadi alat interaksi dan seleksi kandidat staf.
“Saya nyatakan kepada tim, kalau tidak memenuhi semua nilai tersebut, siapa pun orangnya, dia takkan diterima,” kata Atwal.
Meski Atwal belum memajang tata nilai perusahaannya di dinding untuk dilihat umum, semua staf diberi salinan bertanda tangan. Nilai-nilai itu juga dibaca tiap bulan sebagai pengingat dan ditinjau tiap kuartal untuk dicocokkan dengan visi terkini kantornya.
Tim impian
Kantor Shane E. Westhoelter, AEP, CLU, menerapkan elemen visual khas untuk menggelorakan semangat tim. Anggota 14 tahun MDRT ini meminta semua stafnya mendesain papan impian (dengan kliping majalah dan foto) dan memperbaruinya tiap tahun, sehingga target profesi dan pribadi, yang kadang hanya ditulis dan dilupakan, berubah jadi pengingat fisik akan capaian yang tengah dikejar. Tiap bulan, satu atau dua orang staf menunjukkan benda-benda di papan mereka ke grup dan menjelaskan foto-fotonya. Para kolega akan menanyakan progresnya untuk saling menjaga fokus dan akuntabilitas.
“Kita jadi lebih mengenal diri mereka dan hal yang penting bagi mereka,” kata Westhoelter, yang menangani perencanaan keuangan lengkap dan manajemen kekayaan untuk 1.500 rumah tangga dan punya 21 anggota tim, meliputi staf layanan nasabah dan staf admin. “Kita mungkin mengira motivatornya adalah uang, tapi jika yang dipajang adalah foto keluarga, cucu, wisata, atau hewan piaraan, mungkin motivasinya adalah cuti dan liburan keluarga. Dan ini membantu kita untuk lebih mengenal mereka.”
Papan impian itu dimulai di kantor Westhoelter 20 tahun lalu dan diajukan oleh anggota delapan tahun MDRT Aprilyn Chavez Geissler, LACP, CCP. Baik itu beli mobil, ikut kelas memasak, atau rajin olahraga, impian ini mengilhami orang untuk mengejar target sekaligus menyatukan tim dalam sikap mendukung pencapaian satu sama lain. Jika, misalnya, ada yang bilang ingin belajar gitar, kata Westhoelter, rekannya mungkin bilang bahwa dia punya gitar dan dengan senang hati akan membantu.
Tidak itu saja. Setelah mengamati target-target kesehatan stafnya, sekitar empat tahun lalu Westhoelter menaruh empat buah treadmill di kantornya, yang bisa dipakai saat temu virtual atau sekadar untuk rehat singkat tanpa harus keluar. (Sekarang hanya tersisa satu treadmill saja.) Beberapa tahun sebelum itu, Westhoelter juga membangun ruang relaksasi tempat staf bisa bermeditasi, membaca, mendengarkan musik, atau sekadar menyepi dan mengistirahatkan pikiran. Di dalamnya ada kursi yoga dan bantal besar, dan ruang itu dapat digunakan secara privat selama 15 menit untuk waktu tenang.
“Kita perlu menghadirkan lingkungan tempat orang bisa fokus pada kesehatan fisik, mental, dan emosionalnya, dan kita upayakan suasananya mendukung hal itu,” kata Westhoelter. “Lingkungannya lebih ke suasana kekeluargaan, bukan suasana kerja sendiri-sendiri tanpa interaksi.”
Tapi kalau anak-anak datang, ruangannya agak bising, kata Westhoelter seraya tertawa. Ruang relaksasi kerap jadi tempat singgah anak setelah jam sekolah sementara staf menyelesaikan pekerjaan. Atau, jika si anak sudah tidak demam tapi belum diizinkan masuk sekolah, dia bisa menonton film atau bermain di sana.
“Hitung-hitung jadi manfaat ekstra yang tak begitu mahal biayanya. Dan karyawan menghargainya karena tidak harus menyewa pengasuh atau menggunakan cuti untuk mengasuh anak,” kata Westhoelter. “Kami sangat kekeluargaan dan bisnis kami juga fokus ke nasabah keluarga, jadi kami ingin staf merasakannya juga.”
Mengakui keberagaman perspektif
Tentu, penting diingat: Hal yang dianggap menggembirakan oleh yang satu kadang bisa dirasa menyusahkan oleh yang lain. Dua puluh penasihat berbagi ruang kantor di gedung yang sama dengan Sofia Dumansky, MBA, LUTCF, dan ia telah melihat beragam reaksi terhadap kebijakan budaya tertentu.
Anggota 13 tahun MDRT ini berkata bahwa, meski ada yang suka jika sesekali anak karyawan hadir di kantor, ada juga yang merasa terganggu — terlebih saat seorang managing partner memasang ring basket di kantornya dan, saat anak-anaknya datang, kantor riuh dengan suara pantulan bola.
Sebagian penasihat menolak adanya hewan piaraan di kantor, yang jarang tapi pernah terjadi selama dua bulan penuh sebelum seorang manajer kantor meninggalkan jabatannya. Hewan piaraan si manajer ini, seekor anjing gembala Australia, terlihat sekali dari konter.
“Kalau masuk ke ruang konter, anjing itu menyapa dan mengibaskan ekornya tapi tidak berjalan melewati konter,” kata Dumansky, yang punya dua asisten jarak jauh dan menangani perencanaan keuangan, asuransi jiwa, dan investasi untuk sekitar 1.000 rumah tangga. “Penasihat yang lain merasa asyik banget ada anjing di sini; terasa seperti di rumah. Saya pribadi tak ambil pusing, asalkan anjing itu tidak masuk ke ruang saya.”
Ia menambahkan bahwa tidak ada kebijakan seputar apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terkait membawa anak atau anjing ke kantor, karena situasinya agak sulit diprediksi.
Arif memilih kata
Sulit diprediksi adalah hal yang ingin dihindari Vinny Dallo, ChFC, CLU, dan caranya sesimpel lebih hati-hati dalam menggunakan kata dan lebih akuntabel terhadap kolega.
Empat tahun lalu, anggota sembilan tahun MDRT ini bekerja dengan seorang penasihat lain dan seorang admin, yang mendekati Dallo untuk bilang bahwa dia kasar. Kejadian ini mengingatkannya pada pelajaran dari grup persaudaraan di kampusnya, saat ia dan para sahabat menyepakati prinsip hormat-menghormati dan kesetaraan serta fokus pada isu yang dihadapi dalam pertemuan, alih-alih pembawa isunya.
Ia telah mencoba mengamalkan prinsip ini di kantornya tapi, melihat bahwa ia telah mengesampingkan kolaborasi dan lebih condong memberi perintah, ia sadar ada yang harus diubah.
“Orang ingin merasa dihormati, dan titik awalnya adalah perkataan kita dan perlakuan selama interaksi,” kata Dallo. “Kesuksesan saya bergantung pada mutu kerja dan kemampuan setiap orang lainnya, dan saya harus memperlakukan mereka dengan pantas.”
Jika ada masalah dalam menghadapi staf, jika Anda ingin sesuatu dijalankan dengan cara tertentu, harus dimulai dari Anda.
—Vinny Dallo
Ia awali dengan menghapus kata “seharusnya” dari kamusnya. Alih-alih memberi tahu apa yang seharusnya dilakukan, ia bertanya, “Apa yang bisa kita perbuat untuk mencapai target kita?” Ia juga sadar bahwa dialog harus mengarah pada kepentingan nasabah dan keberfungsian kantor, bukan soal dirinya.
“Yang utama adalah kebutuhan nasabah dan bagaimana kita semua berperan serta,” ujarnya. “Saya harus ingat bahwa saya bukan pusat semesta.”
Demikian pula, ia tak mau mengulangi peristiwa saat ia berperilaku kurang bijak di sebuah rapat, yang membuat staf meninggalkan ruangan dengan tegang dan perlu melampiaskan emosi. Kini, menyelesaikan tahun pertamanya sebagai penasihat independen setelah 20 tahun berkarier, Dallo mendorong para sejawatnya — seorang asisten admin paruh waktu yang baru direkrut, dua asisten pemasaran paruh waktu, dan seorang penasihat pembantu spesialis investasi — untuk menegurnya jika perilaku serupa terulang lagi.
Ia bertanggung jawab atas kemungkinan itu dan atas tekadnya untuk memimpin dengan sikap terbuka dan tenang, sembari tetap mengamalkan prinsip membahas isu tanpa menyudutkan pihak yang mengangkat isunya. Alhasil, tumbuh keakraban di kantornya. Mereka mampu berbeda pendapat tanpa berdebat, yang menghasilkan sikap netral, bukan marah atau menggerutu di belakang.
Lagi pula, kata Dallo, kelakuan tiap orang di kantor bisa berdampak besar ke semua pihak, terlebih jika orang itu pemimpinnya.
“Budaya biasanya tidak bertunas di level staf; lebih ke level direkturnya,” katanya. “Pandanglah diri sebagai penasihat atau direktur. Dan sadarilah, jika ada masalah dalam menghadapi staf, jika Anda ingin sesuatu dijalankan dengan cara tertentu, harus dimulai dari Anda.
“Mau dimulai dari mana lagi?”
Rapat cepat
Karena diskusi panjang lebar tentang kinerja proyek, rapat, dan lainnya bisa berujung debat atau saling tuding soal kontribusi masing-masing, kantor Smith menerapkan teknik rapat 10 menit. Di rapat ini, tiap orang berbagi hal yang sudah dan belum baik, dan tiap butir laporan ditandai dengan ikon wajah senang atau sedih. Tanpa interupsi, masukan pun ditunda hingga semua peserta rapat selesai berbagi.
Lalu, forum bisa menimbang apa saja masalahnya, apa saja butir tindakan untuk menangani masalah itu, dan siapa yang bertanggung jawab atas tindak lanjutnya.
Mengasuh perkembangan staf
Cara lain dari Smith untuk membina staf adalah dengan memilih pemimpin dan wakilnya untuk tiap proyek. Tapi teknik penugasannya terbilang unik: Sering, pemimpinnya justru yang kurang berpengalaman di tugas tersebut, dan wakilnya lebih ahli dan berperan sebagai pembimbing. Contohnya: Untuk kerja dokumentasi semua prosedur kantor, admin yang belum pernah melakukannya akan jadi pemimpin proyek, dan wakilnya ada untuk memandu. Dengan tanggung jawab yang jelas untuk pemimpin dan wakilnya, dinamika ini hadirkan keterampilan baru bagi tim dan menciptakan sistem untuk kesuksesan dan akuntabilitas.
“Orang jadi terdorong untuk tolong-menolong,” kata Smith. “Cara ini juga membantu menemukenali pemimpin yang belum berkesempatan untuk memimpin.”
Kontak
Harpreet Atwal harpreet@atwalwealth.co.uk
Vinny Dallo vinny.dallo@ceteraadvisors.com
Sofia Dumansky sdumansky@legatumfinancial.com
Joffrey Smith joff@joffreysmith.com
Shane Westhoelter shane@gfainvestments.com