Mei 01 2025 / Majalah Round the Table
Filantropi melalui asuransi
Cara menanam benih untuk donasi di masa depan.
Topik bahasan
Michael Joseph Haggerty, CPCA, CFP, pernah dekati dua nasabah superkaya dengan proposal rencana warisan melalui program donasi lintas generasi. Tanamlah benih filantropi dalam diri cucu Anda sekarang, kata Haggerty, dengan menjadikannya ahli waris polis asuransi, dan meninggalkan wasiat yang menjelaskan polis ini Anda danai supaya bisa dia sumbangkan ke badan amal favoritnya kelak saat dewasa nanti.
“Yang satu merasa saya gila,” kata anggota 17 tahun MDRT ini. “Yang satu langsung mengiyakan. Dia bilang, ‘Idenya keren!’ lalu duduk dan menulis semua surat wasiatnya. Dia punya tujuh orang cucu — yang tertua 12 tahun, yang termuda 8 bulan — dan akhirnya membeli tujuh polis dengan premi tahunan $10.000.”
Obrolan tentang warisan untuk donasi setelah tutup usia bisa canggung, tapi juga bisa sesimpel bertanya, “Ada badan amal yang Anda dukung?”
“Bahan membuka obrolan,” kata Ryan Hofer, anggota lima tahun MDRT. “Kalau dijawab tidak, saya balas, ‘Oke, mana tahu nanti ada.’ Kalau dijawab, ‘Ada, putra saya pernah kena kanker dan yayasan Make-A-Wish telah berbaik hati — kami wisata ke Disney,’ saya balas, ‘Wah, hebat. Kapan dulu tamasyanya? Terus bagaimana?’”
Perencanaan warisan di tahap hidup mana pun
Saat Hofer mengkaji bujet nasabah dan membaca arah pengeluaran, ia jadi tahu kecenderungan filantropis nasabah dan hal spesifik yang menjadi renjananya. Perpuluhan untuk gereja, donasi ke sekolah lokal, lembaga United Way, dan sejumlah badan amal lainnya.
“Saya percaya orang mau berbuat baik, dan jika kita tanamkan sejak dini bahwa asuransi jiwa bisa jadi sarana untuk berbuat baik bagi keluarga, badan amal, yayasan — apa pun alasan di baliknya — setidaknya mereka jadi berpikir,” kata Hofer.
Haggerty mendapati bahwa obrolan tentang badan amal favorit bisa pererat ikatan dengan nasabah. “Bila orang sudah terbuka tentang passion-nya, terbukalah jalan untuk menunjukkan cara menyalurkan hasrat itu ke donasi yang berarti,” katanya.
Salah satu cara Haggerty mengenali target obrolannya adalah Conquest, perangkat lunak CRM yang mengidentifikasi ada tidaknya surplus, setelah masa pensiun dan tujuan finansial lainnya direncanakan. “Salah satu unsur yang paling jarang direncanakan adalah surplus,” kata Haggerty. “Jika tidak direncanakan, ada entitas — terlebih di Kanada — yang akan melakukannya untuk Anda. Yaitu pemerintah, dan Anda akan bayar pajak jauh lebih banyak.”
Kecuali, jelasnya lebih lanjut, nasabah memilih satu dari dua entitas lain yang bisa mewarisi uangnya setelah dia tiada — keluarganya dan badan amal. “Belum pernah ada yang memilih pemerintah,” kata Haggerty. Lalu, pembicaraan beralih ke diskusi tentang asuransi untuk donasi sebagai sarana berderma untuk misi amal yang disukai nasabah.
Salah satu nasabahnya yang punya surplus dana adalah pensiunan dosen yang punya banyak keponakan, tetapi tidak punya keturunan. Haggerty tahudia sangat perhatian pada pendidikan. Tumbuh di keluarga yang pas-pasan, jika bukan karena beasiswa, dia takkan bisa meraih gelar master dan doktor sehingga bisa menjadi dosen. Haggerty menyarankan, setelah menetapkan warisan untuk para keponakan, dia mengarahkan sebagian surplusnya untuk mendanai program beasiswa atas namanya setelah dia tutup usia.
“Di titik itu, closing-nya mudah sekali,” ujar Haggerty. “Kalau saya bisa tunjukkan cara mendanai passion Anda sekaligus memangkas kewajiban pajak, tidakkah Anda tertarik?” Dia membeli polis dengan premi tahunan $5.000 yang, setelah dia wafat, akan menjadi dana abadi untuk membiayai empat beasiswa sebesar $3.000 setiap tahun, selamanya.
Sekarang daripada nanti
Umum dimengerti, nasabah pensiunan dan yang tak lagi punya tanggungan lebih terbuka untuk perencanaan donasi dari keluarga penghasilan menengah yang masih harus melunasi utang dan menabung untuk pendidikan anak dan dana pensiunnya sendiri. Tapi bagi Hofer, bila nasabah sudah jadi donatur badan amal, mengaitkan donasi itu dengan polis asuransi hanyalah soal menunjukkan celah sumbernya di bujet mereka.
“Itu dialog yang memang harus dibuka oleh penasihat sendiri,” kata Hofer. “Waktu beli rumah atau punya momongan, orang sadar, ‘Oh, saya butuh asuransi jiwa,’ dan cuma di saat itu sajalah kesadarannya terpantik. Para hartawan sudah beres dengan perencanaan warisnya. Saya rasa masih langka penasihat berdiskusi dengan nasabah usia 30-35 tahun tentang warisan yang akan melampaui masa hidup anak dan bahkan cucu mereka.”
Haggerty bercerita ke orang usia 40an bahwa banyak dari nasabahnya yang usia 70an merasa andai saja mereka tahu solusi ini sedari dulu, waktu preminya masih jauh lebih murah. Ia juga mendapati bahwa nasabah yang dermawan — fakta yang disingkapnya dengan berbincang tentang perhatian sosial mereka — getol berbagi pengalaman mereka dan mereferensikan prospek.
Perencanaan warisan untuk tujuan amal juga membuat Hofer menonjol.
“Saat saya utarakan, orang belum pernah mendengar konsepnya,” kata Hofer. “Lalu mereka sadar, bisa menyisihkan sejumlah besar uang, terlebih dengan premi bulanan yang tidak mahal, sebagai sumbangsih besar bagi badan amal favoritnya.”
Kontak
Michael Haggerty michael.haggerty@lsfg.life
Ryan Hofer ryan.hofer@horacemann.com