Log in to access resources reserved for MDRT members.
Generasi kedua bisa jadi kelas wahid
Generasi kedua bisa jadi kelas wahid

Mei 01 2025 / Majalah Round the Table

Generasi kedua bisa jadi kelas wahid

Zhan perkaya legasi keluarga dengan mengikuti jejak sang ibu.

Topik bahasan

Saat Congjie Zhan pertama kali menyatakan kepada ibunya bahwa ia berminat menjadi penasihat, sang ibu – praktisi kawakan berpengalaman dua dekade lebih – mewanti-wanti: Profesi ini bukan cuma pekerjaan, melainkan tanggung jawab seumur hidup.

Contohnya, Xuling Deng sudah 10 tahun melayani seorang pengusaha yang cuma ingin asuransi medis dasar. Meski polisnya kecil, mantan anggota MDRT itu rutin mengunjungi nasabah, bahkan mengurus cek kesehatan dan menyelesaikan masalah medisnya dengan membagikan kontak yankes dan akses ke sumber daya lain yang dia kumpulkan sepanjang kariernya.

“Orang jadi nasabah karena percaya padamu; maka, kamu harus layak dipercaya dan rajin melayani mereka,” kata Deng kepada putranya. “Tak boleh asal berhenti.”

Orang jadi nasabah karena percaya padamu; maka, kamu harus layak dipercaya dan rajin melayani mereka.
—Xuling Deng

Praktik jasa Deng berkembang karena nasabah menghargai layanannya dan percaya padanya. Jadi, Zhan mungkin merasa kepercayaan itu akan diturunkan padanya, dan dengan mudah ia bisa mengambil alih nasabah ibunya. Di usia 20an saat itu, ia ingin sekali keluar dari pindah profesi dari sektor konstruksi karena jam kerja panjang dan harus melaju – satu proyek bisa tiga jam perjalanan sehingga sulit pulang saat ada keluarga yang sakit. Namun, kenyataannya lain untuk anggota tujuh tahun MDRT ini. Teman-temannya sendiri pun – inti dari segmen prospeknya – ingin melihat dulu berapa lama Zhan akan bertahan di profesi barunya.

“Meski disokong Ibu, yang sudah malang melintang di industri ini, saya masih hijau karena baru pindah profesi,” kata Zhan. “Mereka masih perlu lihat-lihat dulu. Lagi pula, mereka tak tahu berapa lama saya bisa bekerja di sini dan mereka tak mau polisnya jadi polis yatim.”

Titik balik

Zhan memang tidak berharap efek ibunya akan memuluskan transisinya menjadi penasihat. Malah, ia khawatir dibayang-bayangi reputasi gemilang Deng sehingga, mau bagaimana pun, kinerjanya mungkin takkan cukup baik atau bahkan bisa mencoreng pamor sang ibu. Tapi ia ingin membuktikan bisa sebagus ibunya, dengan caranya sendiri.

Pertama, Zhan harus belajar dari para sejawatnya – ibunya memimpin tim berisi lebih dari 40 penasihat – tentang pentingnya memahami kebutuhan dan melayani nasabah. Dua tahun Zhan menjadi penasihat, anak dari mantan teman sekelasnya mengalami demam tinggi dan tak kunjung sembuh meski sudah rawat inap berkali-kali. Jadi, Zhan menginfokan rujukan untuk rawat medis tambahan sekaligus menambah asuransi medis yang membuat biaya pengobatan lebih bisa ditangani.

“Waktu nasabah bilang terima kasih, saya yakin dia sadar saya sangat memahami risiko dan kebutuhan untuk keluarga dan bisnisnya,” kata Zhan. “Nasabah tambah percaya, salah satunya, karena alasan itu. Itu pulalah momen saat saya yakin bahwa saya ditakdirkan untuk peran ini.”

Mengatasi pandangan miring

Tantangan lainnya adalah menjadi bagian dari “generasi kedua”. Di Tiongkok, istilah ini punya persepsi negatif: generalisasi tentang anak muda yang manja karena warisan dan buruk perilakunya. Karenanya, orang yang sudah berumur mungkin enggan membeli asuransi dari kalangan ini karena takut kurang terlayani dan ditinggal pergi begitu saja oleh penasihat yang mestinya mengawal polis mereka.

Zhan pantang mundur; ia kunjungi para nasabah, membantu memenuhi kebutuhan asuransi, medis, dan bahkan urusan hukum dengan merujuk mereka ke praktisi lain untuk dibantu. Karena ia membuat nasabah merasa aman, ia pun jadi lebih mantap di pekerjaannya. Bahkan, pengusaha yang tadinya dilayani oleh Deng kini menjadi salah satu nasabah terbesar Zhan. Sejak mengambil alih nasabah itu, ia sudah rutin mereviu polis si nasabah, mulai dari menata cakupan proteksi kesehatan keluarga, melindungi aset usaha keluarga, dan mengatur langkah pewarisan hartanya. Melalui pelajaran yang dipetiknya di industri ini, dipadu bantuan dari para konsultan di perusahaannya, ia menata kombinasi solusi untuk memenuhi kebutuhan nasabah, yang membuatnya sukses meraih Top of the Table pada 2023.

“Kamu mewarisi legasi ibumu dan melakukan pekerjaan yang luhur,” kenang Zhan tentang komentar nasabah itu. “Sekarang, saya ingin mewariskan kekayaan ke anak-anak saya, dan saya percaya kamu bisa melayani mereka juga.”

Legasi

Zhan yakin bahwa ia tak hanya mendampingi nasabah, tapi juga akan mendampingi anak dan bahkan cucu mereka untuk menyediakan jasa dan produk yang mereka butuhkan.

“Banyak nasabah gelisah, khawatir tidak ada yang menjaga mereka jika ibu saya pensiun,” ujar Zhan. “Setelah saya masuk, mereka lega karena, tidak hanya mereka, tapi anak dan bahkan generasi setelahnya pun akan terjaga dengan baik.”

Zhan bisa memahami dan dekat dengan nasabah dari generasi ibunya, serta pandai menggunakan kedekatan usia dengan nasabah generasi kedua untuk memberikan layanan yang lebih baik.

“Saya bisa tangani nasabah generasi kedua atau bahkan ketiga lebih baik dari Ibu, karena jarak usia di antara mereka cukup lebar,” katanya. “Banyak orang muda tak suka berbagi isi pikiran aslinya dengan orang yang jauh lebih tua. Karena saya sebaya, saya lebih bisa memahami hal yang sungguh mereka pikirkan dan butuhkan, dan menyediakan layanan yang memenuhi kebutuhan itu.”

Leo Li adalah penulis untuk Team Lewis, agensi komunikasi yang membantu pengembangan konten MDRT untuk pasar Asia Pasifik. Hubungi mdrteditorial@teamlewis.com.

Kontak

Congjie Zhan 598703254@qq.com